TOKOH INSPIRATIF INDONESIA
  • Blog

Dahlan Iskan

5/1/2014

0 Comments

 
Picture
Mantan Direktur Utama PLN, Dahlan Iskan, merupakan tokoh yang cukup fenomenal di negeri ini, dia dikenal sebagai tokoh jurnalis juga tokoh yang mampu melahirkan gagasan-gagasan inspiratif. Dahlan Iskan dibesarkan di lingkungan pedesaan dangan kondisi serba kekurangan di Kota Magetan Jawa Timur.

Bahkan, orangtuanya, Iskan, tidak ingat tanggal berapa Dahlan dilahirkan. Dahlan akhirnya memilih sendiri tanggal 17 Agustus 1951 dengan alasan mudah diingat karena bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.

Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda Kalimantan Timur sekitar tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang. 

Pada reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Dahlan Iskan diangkat sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menggantikan Mustafa Abubakar pada tanggal 18 Oktober 2011. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu lima tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300 ribu eksemplar. 

Namun semangat dan kerja kerasnya membuktikan kepiawaian beliau sebagai seorang tauladan. Seorang pemimpin yang dengan cermat mengelola bagian produksi hingga pemasaran. Ide-idenya secepat gaya bicaranya, lugas dan ceplas-ceplos. Pemimpin yang selalu datang paling pagi dan pulang juga paling pagi. Kristalisasi keringatnya yang meskipun sempat menggerogoti kesehatannya, kini terbayar manis.

Dahlan Iskan merupakan seorang figur yang penuh kejujuran dan kharismatik, ungkapan yang demikian ini terungkap pada suatu acara di Perpustakaan Universitas Indonesia di Kampus UI Depok. Ketika salah satu mahasiswa melontarkan satu pertanyaan yang membuat Dahlan Iskan harus tertegun. 

Dimana mahasiswa tersebut mempertanyakan terkait pengabdiannya kepada desa kelahiran setelah sukses jadi tokoh pers di Indonesia dan pejabat tinggi negara. Tanpa canggung dan malu Dahlan Iskan dengan nada trenyuh meminta maaf terhadap tanah kelahiranya. Alasanya, Dahlan Iskan mengawali kariernya sebagai jurnalis dengan melihat sesuatu yang bersifat obyektif sehingga sempat terlupakan untuk membangun desa yang di tinggalkanya. 

Kemudian pada Halal bi halal bersama keluarganya dari keturunan Mat Redja di Dusun Gedangan, Desa Tanjungsari, Kecamatan Jogorogo-Ngawi, kemarin (25/8). Dahlan Iskan hadir di tengah-tengah keluarganya tanpa menyiratkan kalau dirinya seorang tokoh nasional yang disegani. 

Pada salah satu sambutanya Dahlan Iskan yang didampingi istrinya Nafsiah Sabri dan kedua anaknya beserta cucu-cucunya, Dahlan sempat berkelakar dengan nada humor. Dirinya menceritakan pengalamanya sewaktu umroh di tanah suci.

sumber: sinarngawi.com

0 Comments

Isran Noor, Tokoh Lokal Bervisi Nasional

4/28/2014

0 Comments

 
Picture
Dia menyebut dirinya sebagai seorang kepala daerah yang gundah. Gundah karena lemahnya komitmen pemerintah pusat pada semangat otonomi daerah. Padahal sepanjang pengalamannya sebagai tokoh lokal, konsep otonomi daerah terbukti mampu mempercepat perbaikan ekonomi dan kesadaran politik masyarakat daerah.

Dialah Isran Noor, bupati Kutai Timur yang juga ketua umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Keuletannya dalam mengaplikasikan otonomi daerah tak perlu diragukan lagi. Pakar Ilmu Pemerintahan, Prof Dr H M Ryaas Rasyid, bahkan tanpa segan menilai visi kepemimpinan Isran Noor berdimensi nasional, melintasi batas-batas administrasi kabupaten seluruh Indonesia.

"Isran berpandangan bahwa membangun daerah di era otonomi daerah layaknya membangun Indonesia dalam skala kecil. Sukses membangun daerah adalah juga sukses dalam pembangunan nasional," kata Ryaas ketika membahas buku karya Isran Noor yang berjudul Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI di Jakarta, Kamis (20/9).

Isran, kata Ryaas, secara sungguh-sungguh mengurus semua kepentingan strategis kabupaten di seluruh Indonesia untuk kemajuan NKRI. "Dia bahkan berani mengkritik pemerintah pusat terkait keberadaan Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dianggapnya belum menguntungkan daerah," kata Penasehat Khusus APKASI itu.

Tak mengherankan bila saat ini Isran semakin diakui sebagai sosok pimpinan pemerintahan yang tidak hanya mampu menjalankan tata kelola pemerintahan di tingkat lokal Kutai Timur, tetapi juga dalam dunia politik yang lebih luas. Gagasan dan pemikirannya yang bernilai solutif, tidak hanya mengedepankan persoalan yang dihadapi.

Tetapi juga disertai usul pemecahan masalah, baik yang terkait dengan pembangunan daerah maupun problematika ekonomi dan politik nasional. Isran juga disebut sebagai salah satu tokoh nasional bercitra Bhinneka Tunggal Ika dengan komitmen kenusantaraan.

Isran Noor sebelumnya pernah menjadi Wakil Bupati Kutai Timur mendampingi Bupati Awang Farouk. Ia kemudian menjadi Bupati Kutai Timur sewaktu Awang Farouk menjadi Gubernur Kalimantan Timur. Isran dipilih kembali masyarakat Kutai Timur untuk menjadi bupati pada Pilkada 2011 lalu.

Tokoh daerah kelahiran Sangkulirang, Kutai Timur, 20 September 1957 yang juga memimpin Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) itu tak pernah bosan mendengarkan beragam keluhan daerah. Semua keluhan itu kemudian dikajinya dengan saksama. Dari sanalah dia merumuskan solusinya melalui Apkasi.

"Jika seluruh kabupaten yang mencakup 72 persen wilayah NKRI itu maju dan para pemimpinnya berfikiran maju, maka Indonesia juga akan maju. Cita-cita mulia ini menjadi mimpi Isran Noor sebagai Ketua Umum APKASI," kata Ryaas Rasyid.

Peluncuran buku karya Isran itu juga menghadirkan pembahas lain. Antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Guru Besar FISIP UI Prof Dr Iberamsjah, Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda, dan Bupati Tanah Datar HM Shadiq Pasadigoe. Tak ketinggalan moderator akademisi Universitas Indonesia, Dr Mulyana W Kusumah.

Pada acara yang dihadiri sekitar 400 undangan, termasuk para bupati, beberapa duta besar negara sahabat, serta kalangan pemerintahan dan legislative.


0 Comments

Emha Ainun Najib

4/25/2014

1 Comment

 
Picture
Kesuksesan tidak bisa diukur dari selembar ijazah atau gelar sarjana. Tekad kuat, kerja keras, dan ketekunan bisa merubah jalan nasib seseorang. 

Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib, atau lebih populer dipanggil Cak Nun. Ia menjadi tokoh budaya sekaligus pemuka agama yang kharismatik. Jamaah Maiyah Kenduri Cinta yang digagasnya sejak tahun 1990-an menjadi acara rutin sebagai  forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. 

Berbagai pemikirannya di bidang sosial dan keagamaan menjadikannya salah satu tokoh intelektual dalam napas islami. Namun siapa sangka, anak keempat dari 15 bersaudara ini drop out kuliah saat masih di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.

1 Comment

FADJROEL RAHMAN - Mimpi Negeri Tanpa Korupsi

4/23/2014

0 Comments

 
Picture
Pada 28 Oktober lalu, tepat 81 tahun Sumpah Pemuda, tokoh mahasiswa Institut Teknologi Bandung, 1978, M Fadjroel Rachman, yang pernah mendekam di LP Sukamiskin, Jawa Barat, oleh rezim Orde Baru, mendeklarasikan diri kembali menjadi calon presiden independen tahun 2014.

Ini merupakan deklarasi kedua Fadjroel sebagai calon presiden (capres) setelah deklarasi pertama Februari 2009. Waktu itu pencalonannya kandas setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materinya terhadap capres perseorangan atau independen.

Kini, didukung gerakan nasional independen, Fadjroel maju kembali sebagai capres. Ia mengaku tak ingin mencari keuntungan sendiri menjadi capres RI, tetapi ingin mengembalikan hak konstitusional warga lainnya bisa maju sebagai capres.
Bahkan, Fadjroel yang juga aktif ikut gerakan antikorupsi memiliki harapan, yaitu jika calon independen bisa memenangkan uji materi, tidak hanya kelompok demokrasi yang bisa masuk ”merebut negara”, tetapi juga berkiprah mengawal pemberantasan korupsi dan melawan mafia hukum secara semesta.

Optimismenya maju kembali dan ”menembus” MK berawal keberhasilannya ketika ia dan kawan-kawannya ”memenangkan” uji material di MK, 23 Juli 2007, yaitu calon independen untuk pemilu kepala daerah.

Untuk memuluskan pencalonannya, Fadjroel tidak hanya mengurus uji materi ke MK, tetapi juga merevisi UU Partai Politik agar parpol bisa melaksanakan konvensi penentuan calon dan juga melakukan amandemen UUD 1945.

Menurut Fadjroel, ”kemenangan demokrasi” itu tinggal selangkah lagi. Bagaimana pemikirannya, seperti apa mimpinya atas sebuah negeri tanpa korupsi serta upaya ”perlawanan” mengenai antidemokrasi. Terkait itu, Kompas mewawancarainya, beberapa waktu lalu. Inilah sebagian wawancaranya.

Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III menimbulkan ”keributan”. Bagaimana Anda melihat dan memetik pembelajaran pertemuan itu bagi demokrasi?

Proses demokrasi yang terpenting, menurut saya, adalah dialog, ada kesetaraan yang argumentatif dan rasional. Apa pun masalahnya bisa dibicarakan dalam pemahaman itu. Kita menghindari monolog selama 32 tahun hidup di era Orde Baru.

Kami datang dengan satu pikiran, Komisi III bisa menjelaskan mengapa mereka bisa membuat kesimpulan bersama kejaksaan yang mendesak Kejaksaan RI menangani perkara dua pimpinan KPK yang nonaktif. Sementara Tim Delapan, yang dibentuk Presiden, membuat rekomendasi yang fakta dan proses hukum yang dimiliki Polri tidak cukup bagi dilanjutkannya proses hukum pimpinan KPK.

Pertanyaannya, Komisi III menentang rekomendasi Tim Delapan. Kami sebenarnya memohon satu dialog yang komunikatif sehingga ada alasan rasional dan obyektif.

Maksudnya?

Tampaknya mereka masih merasa sebagai pejabat negara dan bukan seorang politisi publik yang bertanggung jawab. Ketika kami berkali-kali menanyakan itu, jawabannya mengambang dan seolah-olah kedatangan kami mengorbankan waktu.

Puncaknya, saat guru besar UI Tamrin Tomagola menjadi kesal. Mengapa pertanyaan yang jelas justru tidak dijawab dengan rasional obyektif, tetapi malah berputar-putar dan suara yang agak keras. Kesimpulan saya, mereka tidak siap berdialog. Padahal, bangunan demokrasi itu jantungnya dialog rasional dan obyektif.

Kira-kira apa yang menjadi penyebab? Apakah terjadi kesenjangan kaum intelektual dan kaum politisi?

Menurut saya, partai politik memang seharusnya menyeleksi lebih dulu terhadap anggota-anggota yang bertarung di pemilu. Akan tetapi, ternyata parpol tidak memilih calon terbaik, tetapi diserahkan pada seleksi masyarakat sehingga hasilnya seperti ini. Padahal, rakyat tidak punya pendidikan demokrasi yang kuat saat memilih.

Mengapa bisa begitu?


Saya kira karena pendidikan politik di Indonesia atau demokrasi, seperti pernah saya katakan, baru ”satu derajat di atas nol”. Artinya, seolah-olah demokrasi itu eksis setelah kita bebas dari cengkeraman Orde Baru, yakni dengan mendirikan partai politik dan menggelar pemilu.

Akan tetapi, tidak ada ajaran yang kuat terhadap hak-hak mereka, yaitu hak sipil, bagaimana orang mengenali bahwa kalau menyuarakan pikiran itu adalah sebuah kebebasan dan apa yang disuarakan itu kepentingan dasar.

Jadi, demokrasi yang diperjuangkan hanya yang prosedural. Tetapi, inti dari demokrasi, yaitu orang membela hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya itu, tidak terjadi. Akibatnya, mereka memilih orang dan bukan orang atau wakil rakyat yang mau membela kelima hak dasar itu saja.

Dalam reformasi 11 tahun ini, pendidikan demokrasi atau pendidikan hak dasar itu relatif baru. Sementara demokrasi kita dibajak para individu yang antidemokrasi. Mereka orang-orang yang bercokol selama rezim totaliter Orde Baru. Inilah yang ”memenjarakan” para fraksi di DPR. Padahal, seharusnya aktor-aktor demokrasi itu yang harus mengisi lima arena, yakni arena politik, ekonomi, masyarakat bisnis, civil society, birokrasi, dan arena hukum. Demokrasi hanya bisa berjalan jika lima wilayah diisi oleh aktor-aktor demokrasi.

Mengapa kita tidak menjalankan demokrasi substansial?

Ibarat sekolah, kita masih kelas satu. Padahal, kemarin ketika reformasi kita punya kesempatan dan momentum emas untuk menjalankan hak dasar. Momentum waktu itu adalah saat reformasi mendorong hak-hak dasar saat mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, waktunya dibatasi untuk kasus setelah 1999. Demikian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tidak jadi diteruskan pembentukannya serta restrukturisasi utang luar negeri yang harus dijalankan. Akibatnya, momentum itu hilang dan korupsi masih tidak bisa dihilangkan hingga saat ini.

Jadi, korupsi tidak mungkin pupus?

Ada hari di mana kita bermimpi bahwa korupsi itu hanya ada di museum nasional dan di sana terdiri dari diorama-diorama. Kita juga bermimpi Indonesia yang bebas kemiskinan sehingga anak cucu kita bisa dibawa melihat diorama kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, buruh, dan lainnya.

Kalau anak cucu kita bertanya, bagaimana korupsi itu, mimpi saya itu, mari kita bawa ke museum nasional. Misalnya, museum tentang BLBI, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Di situ digambarkan orang-orangnya, lalu ada diorama bagaimana mereka korupsi. Bisa saja, ada diorama korupsi di PT Masaro Radiokom, diorama gratifikasi Bank Indonesia, dan diorama lainnya yang menjadi masa lalu bangsa kita.

Tidak bisa momentum baru untuk mengembalikan semuanya kembali?

Saya berpikir bahwa momentum itu baru terjadi pada tahun 2014, yaitu ketika terjadi regenerasi nasional, ketika semua lembaga politik dan lima arena akan diisi generasi baru, generasi non-Orde Baru dan non-Soeharto. Saya yakin bisa, berdasarkan adanya pergeseran regenerasi politik dari sekarang ini.

Sumber : Kompas online.

0 Comments

JOKOWI

4/23/2014

0 Comments

 
Picture
Jokowi telah dinobatkan Indoline sebagai Sebagai “Inspiring leadership” tahun 2013. Ir. H. Joko Widodo atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi, adalah Gubernur DKI Jakarta terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012. Ia merupakan gubernur ke-17 yang memimpin ibu kota Indonesia. Sebelumnya, Jokowi menjabat Wali Kota Surakarta (Solo) selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015, namun baru 2 tahun menjalani periode keduanya, ia mendapat amanat dari warga Jakarta untuk memimpin Ibukota Negara. Dalam masa jabatannya di Solo, ia didampingi F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakil walikota. Ia dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.  Atas prestasinya, oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari “10 Tokoh 2008″. Pada tanggal 12 Agustus 2011, ia juga mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama untuk prestasinya sebagai kepala daerah mengabdikan diri kepada rakyat.Bintang Jasa Utama ini adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga negara sipil. Pada Januari 2013, Joko Widodo dinobatkan sebagai wali kota terbaik ke 3 di dunia atas keberhasilannya dalam memimpin Surakarta sebagai kota seni dan budaya, kota paling bersih dari korupsi, serta kota yang paling baik penataannya. Dengan berbagai pengalaman di masa muda, ia mengembangkan Solo yang buruk penataannya dan berbagai penolakan masyarakat untuk ditertibkan. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan dan menjadi kajian di universitas luar negeri.

0 Comments

Kepemimpinan Ibu Kiswanti

4/23/2014

1 Comment

 
Picture
Kepemimpinan, Mulai Dari Kecil

Pada suatu saat, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang pendidikan, Musliar Kasim menyampaikan perhatiannya terhadap minat baca anak Indonesia yang dipandang masih rendah. Beliau berkomentar, ‟Kalau kita suruh mereka (anak-anak) membaca pasti tidak betah, kecuali yang kemampuan belajarnya sudah baik.”

Pertanyaannya sekarang, kenapa anak-anak sulit betah untuk membaca? Apakah karena tempatnya yang tidak nyaman? Atau karena pilihan bacaannya tidak ada yang sesuai dengan yang mereka cari? Atau karena tidak cukup banyak orang yang peduli untuk mendorong dan mendukung anak agar memupuk kesukaan membaca?

Beruntunglah kita masih punya Ibu Kiswanti. Beliau adalah tokoh di balik berdirinya Warung Baca Lebakwangi, atau biasa disingkat Warabal. Warung bacanya ini tidak serta-merta berdiri di Kampung Lebakwangi, Parung, Bogor. Ia mengawalinya dengan lebih dulu ‟menjemput bola”, berkeliling kampung dengan sepeda onthel yang diganduli dua keranjang buku di bagian depan dan belakangnya. Selama delapan bulan pertama, ia menempuh hingga 5 km setiap pagi dan sore dengan kayuhan sepedanya.

Ibu Kiswanti memperkenalkan diri dan buku-buku yang dibawanya kepada kerumunan anak yang sedang bermain, dengan mendatangi arisan warga, atau mendekati mereka yang baru bubar pengajian. Perlahan tapi pasti, warga terbiasa melihat Ibu Kiswanti dan buku-bukunya. Anak-anak kemudian tahu bahwa ada kegiatan lain yang lebih bermanfaat dibanding sekadar bermain tak keruan, yaitu membaca. Kini ia tak perlu lagi mengayuh sepeda hingga 5 km. Justru ratusan anak menyambangi warung bacanya dengan antusias, dan betah membaca di sana.

Berangkat dari latar belakang serba berkekurangan, beliau kini tampak seperti tokoh sosial yang lebih dari berkecukupan, karena sukses menjalankan warung baca dengan beragam fasilitas dan program tanpa pernah menarik bayaran dari anak-anak maupun orangtuanya. Kesadaran bahwa ‛Ia boleh berhenti sekolah, tapi tidak akan berhenti belajar, boleh jadi anak miskin, tapi tak boleh berhenti berusaha,’ menghantam ruang benaknya saat sedang tenggelam di lautan buku bekas, di jalan Malioboro, Yogyakarta. ‟Saya enggak punya uang, tidak berpendidikan, tetapi dari membaca saya punya banyak pengetahuan. Seperti bunga yang tak pernah layu dan terus mekar,” ujarnya menggambarkan semangatnya berbagi ilmu melalui buku.

Selain berhasil memberdayakan anak-anak dan warga kampungnya, kerja keras Ibu Kiswanti juga diganjar penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka—penghargaan dari perpusnas bagi mereka yang aktif mengembangkan perpustakaan dan minat baca di Indonesia pada Mei 2008 lalu. Belum lama ini, Maret 2013, beliau juga dinominasikan sebagai salah satu dari 6 Perempuan Inspiratif sebagai Local Heroes Indonesia yang diselenggarakan oleh Kedubes Amerika Serikat di Indonesia.

Ibu Kiswanti berhasil mewujudkan kepeduliannya dengan tindak nyata bermodal satu hal saja, dirinya dengan segala keyakinan dan semangat yang tinggi. Siapa nyana, seorang perempuan sederhana, tak berpendidikan tinggi pun, dan bukan berasal dari keluarga berkecukupan, bisa tampil sebagai sosok yang menggerakkan orang lain. Kehadirannya bisa mendorong orang lain untuk berpikir, hingga bisa bergerak secara mandiri, mengupayakan kehidupan yang lebih baik bagi dirinya. Siapa yang bisa menyangkal bahwa ia adalah teladan dalam kepemimpinan?

Di dalam definisinya, ‘memimpin’ setara dengan beberapa hal, yaitu mengetuai, memenangkan paling banyak, memegang tangan sambil berjalan, memandu, dan melatih. Ketika kebanyakan orang mengadopsi hanya dua definisi pertama, Ibu Kiswanti justru telah mempraktikkan semua hal tersebut. Ia mengetuai sebuah ruang membaca, ia memenangkan kepercayaan masyarakat, ia ‘memegang tangan’ anak untuk berjalan ke arah yang lebih baik, dan ia juga memandu serta melatih orang-orang di sekitarnya untuk dapat lebih berdaya daripada sebelumnya.

Apalagi anak-anak adalah calon pemimpin-pemimpin, mereka harus diberi contoh yang menginspirasi. Persis seperti kalimat Isran Noor, calon Presiden dari Konvensi Rakyat, “Pemuda merupakan kunci perubahan dalam bernegara, karena akan menjadi pelopor utama dalam pembangunan.”


1 Comment

    Archives

    April 2014

    Categories

    All
    Emha Ainun Najib
    Ibu Kiswanti
    Isran Noor
    Jokowi
    Tokoh Inspiratif

    RSS Feed


Powered by Create your own unique website with customizable templates.